KALBAR SATU ID – Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan menghadapi fenomena yang cukup mengkhawatirkan: menurunnya motivasi belajar di kalangan remaja. Di berbagai sekolah, guru sering mengeluhkan siswa yang tampak kehilangan semangat, mudah bosan, dan kurang memiliki tujuan belajar yang jelas. Fenomena ini bukan sekadar masalah kemalasan, tetapi cermin dari perubahan nilai, budaya, dan cara berpikir generasi muda dalam menghadapi realitas pendidikan masa kini.
Motivasi belajar sejatinya adalah energi internal yang mendorong seseorang untuk belajar dan berkembang. Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi, motivasi itu perlahan terkikis. Remaja kini hidup di era serba cepat, di mana hiburan, informasi, dan pengakuan sosial bisa didapat secara instan melalui gawai dan media sosial. Akibatnya, proses belajar yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan konsentrasi sering kali terasa membosankan.
Krisis motivasi belajar juga berakar pada perubahan orientasi nilai dalam masyarakat. Banyak remaja yang menilai keberhasilan bukan lagi dari pengetahuan atau kemampuan berpikir kritis, melainkan dari seberapa populer mereka di dunia maya. Nilai akademik kehilangan maknanya ketika dunia digital menawarkan “penghargaan instan” berupa likes, views, dan followers. Di sinilah pendidikan formal sering kali kalah bersaing dalam memberi makna terhadap keberhasilan.
Selain faktor budaya digital, sistem pendidikan itu sendiri turut berkontribusi. Kurikulum yang padat, metode belajar yang monoton, dan penilaian yang lebih menekankan hasil daripada proses membuat siswa merasa tertekan. Banyak remaja belajar bukan karena ingin tahu, tetapi karena takut gagal. Padahal, motivasi sejati tumbuh dari rasa ingin tahu dan kebebasan berpikir, bukan dari tekanan atau paksaan.
Guru sering kali terjebak dalam rutinitas administrasi dan tuntutan target kurikulum, sehingga lupa bahwa membangkitkan semangat belajar jauh lebih penting daripada sekadar menyelesaikan materi. Pendidikan yang hanya menilai kemampuan kognitif tanpa memperhatikan aspek emosional dan sosial membuat siswa kehilangan rasa keterlibatan. Mereka tidak merasa “terhubung” dengan apa yang dipelajari di kelas.
Faktor keluarga juga memiliki peran besar. Banyak orang tua yang terlalu fokus pada hasil akhir seperti nilai ujian dan peringkat kelas, tanpa memperhatikan proses belajar anak. Tekanan berlebihan dari rumah justru menumbuhkan kelelahan mental (burnout) pada remaja. Mereka belajar bukan karena cinta ilmu, melainkan karena takut mengecewakan orang tua. Ketika motivasi eksternal ini hilang, semangat belajar pun ikut padam.
Media sosial dan dunia hiburan semakin memperlebar jurang ini. Remaja mudah tergoda oleh gaya hidup selebritas, tren konsumtif, dan pencitraan digital yang dangkal. Aktivitas membaca buku, berdiskusi, atau menulis refleksi terasa kalah menarik dibanding menonton video pendek atau bermain gim daring. Padahal, kegiatan sederhana seperti membaca dan berdiskusi merupakan fondasi utama dalam menumbuhkan daya pikir kritis.
Untuk mengatasi krisis ini, perlu pendekatan yang lebih humanis dalam pendidikan. Guru dan orang tua harus menjadi fasilitator yang menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan sekadar pengawas nilai. Pembelajaran berbasis proyek, diskusi, dan pengalaman nyata (experiential learning) dapat menjadi alternatif yang lebih bermakna. Ketika siswa merasa apa yang dipelajari relevan dengan kehidupannya, motivasi intrinsik akan tumbuh dengan sendirinya.
Sekolah juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan ruh kemanusiaan. Teknologi bisa menjadi sarana yang efektif jika digunakan secara bijak. Platform digital dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran interaktif, eksplorasi minat, dan kolaborasi lintas sekolah. Yang terpenting adalah bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat, bukan menggantikan, semangat belajar itu sendiri.
Krisis motivasi belajar di kalangan remaja adalah sinyal bahwa dunia pendidikan perlu berbenah. Kita tidak bisa lagi hanya mengukur kesuksesan dari angka rapor, tetapi harus melihat bagaimana anak-anak menikmati proses belajar dan tumbuh sebagai manusia yang berpikir, peduli, dan berdaya. Membangkitkan motivasi belajar bukan tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama: guru, orang tua, masyarakat, dan tentu saja, para remaja itu sendiri.
Penulis: Bayu, M.Pd., Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)