KALBAR SATU ID – Di beberapa komenan netizen di berbagai platform media sosial, beredar banyak isu liar terkait musibah ambruknya bangunan musholla di Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, yang menelan puluhan korban.
Beberapa narasi bahkan cenderung menyudutkan pihak pesantren, dengan tuduhan dana pembangunan pesantren dipotong oleh pengelola. Tuduhan semacam ini jelas datang dari orang-orang yang tidak paham kondisi riil pesantren di Indonesia.
Perlu dipahami, mayoritas pesantren di negeri ini hidup secara mandiri, terutama dalam urusan pembangunan fisik. Jangan dibayangkan ada “aliran dana pemerintah” yang mengucur dengan deras ke pesantren. Justru sebaliknya, pembangunan banyak ditopang oleh santri, alumni, wali santri, bahkan sering kali dari kantong pribadi pengasuh atau kiainya sendiri. Dari pesantren, oleh pesantren, untuk pesantren. Nah, kalau sumber pendanaannya dari pesantren sendiri, apanya yang mau dikorupsi?
Isu lain yang juga tak kalah miring adalah anggapan bahwa bangunan kurang kokoh karena pembangunannya dilakukan oleh santri, seakan-akan santri dipaksa atau dihukum untuk bekerja. Narasi ini, sekali lagi, bersumber dari pihak luar yang tidak memahami kultur pesantren.
Memang benar, kita sering melihat santri ikut terlibat dalam pembangunan gedung pesantren. Tapi perlu dicatat; keterlibatan mereka sifatnya ringan, sekadar mengangkat ember saat pengecoran, mengikat kawat, atau pekerjaan sederhana lain. Yang menangani teknis utama tetap tukang dan tenaga ahli di bidang konstruksi. Jadi bukan berarti santri disulap menjadi arsitek dadakan.
Lagi pula, keterlibatan santri dalam pembangunan bukanlah bentuk hukuman. Justru ini bagian dari nilai edukasi dan khidmah; latihan skill tambahan, melatih kebersamaan, sekaligus beramal untuk lembaga yang mereka cintai.
Saya sendiri dulu saat nyantri pernah ngalami sekadar ikut nimbrung angkat ember dan ngikat kawat saat pembangunan musholla di pesantren, meskipun lebih banyak ngos-ngosan daripada bermanfaatnya. Tapi begitulah suasana khas pesantren, penuh kebersamaan dan keikhlasan.
Semuanya dilakukan atas kesadaran diri dan kemauan sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun. Itupun hanya diperbolehkan saat jam istirahat, di luar jam belajar santri.
Karena itu, tak perlulah mencari kambing hitam, sikap bijak kita seharusnya adalah menjadikan musibah ini sebagai bahan introspeksi dan muhasabah bersama.
Terpenting, mari tumbuhkan empati bagi keluarga korban, wali santri, dan pihak pesantren yang pasti sangat terpukul. Jangan sampai musibah ini justru dijadikan panggung untuk melahirkan fitnah dan tuduhan yang tidak berdasar.
Semoga para santri, orang tua santri yang anak-anaknya menjadi korban dalam musibah ini, dan terkhusus bagi keluarga Ndalem pengasuh Pesantren Al-Khozini Buduran Sidoarjo, semuanya diberikan kekuatan dan ketabahan menghadapi musibah ini.
Penulis: Buhori, Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW Ansor Kalbar. Facebook @Kang Hari.