KALBAR SATU ID – Demokrasi di Indonesia tengah menghadapi tantangan yang krusian dan menjadi ujian berat. Dalam beberapa waktu terakhir, berbagai kebijakan dan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah dan lembaga legislatif justru semakin menimbulkan tanda tanya besar: masihkah Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis? Mulai dari kebijakan pengeceran gas LP3G oleh Menteri ESDM, pembangunan pagar laut di Tangerang dengan sertifikat hingga penguasaan lahan kavling-kavling dengan Hak Guna Bangunan (HGB), hingga perluasan kewenangan DPR yang memungkinkan pencopotan pejabat negara di luar hakim dan pimpinan lembaga negara.
Semua ini mengarah pada satu pertanyaan: apakah hukum masih menjadi panglima atau justru alat kekuasaan negara? Apalagi Indonesia sebagai negara hukum yang dikenal dengan istilah rechsstaat atau rule of law, hal ini peran negara dalam konstitusinya merumuskan tujuan hukum dan mendukung pembentukan kebijakan dan Undang-Undang yang atas dasar keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Secara teori, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Artinya, semua kebijakan dan tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dalam praktiknya, hukum semakin sering menjadi alat untuk melayani kepentingan tertentu, terutama kepentingan politik dan ekonomi segelintir elite.
Tentunya, pemasalahan akhir-akhir ini ke publik dengan kebijakan negara pengeceran gas LP3G, misalnya, menjadi polemik yang sangat meresahkan.
Bagaimana tidak? Alih-alih menekan harga agar lebih terjangkau masyarakat kecil, kebijakan ini justru bisa membuka celah bagi permainan harga yang semakin tidak terkontrol.
Distribusi gas yang awalnya berada dalam kendali tertentu kini rentan dikuasai oleh pemain besar dengan dalih liberalisasi pasar. Ini tentu sangat merugikan masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya pada energi murah.
Selain itu, pada pembangunan pagar laut dengan sertifikat serta adanya HGB dan kavling-kavling di wilayah pesisir juga menambah daftar panjang kejanggalan dalam tata kelola hukum dan kebijakan negara.
Bagaimana mungkin ruang publik yang seharusnya menjadi hak bersama justru diubah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan? Ini jelas melanggar prinsip keadilan sosial dan melukai hak masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada laut.
Lebih mengejutkan lagi, DPR kini merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, revisi ini dinilai memperluas kewenangannya dengan membentuk aturan yang memungkinkan mereka mencopot pejabat negara, bukan hanya hakim atau pimpinan lembaga negara, tetapi juga berbagai posisi strategis lainnya.
Alih-alih kewenangannya setelah merevisi peraturan DPR tentang tata tertib, lembaga itu dapat mengevaluasi pejabat negara, diantaranya Pasal 228 dan Pasal 229 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 228 A, seperti:
Pasal 228A ayat (1) berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR”.
Sementara itu, Pasal 228A ayat (2) berbunyi: “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku”.
Revisi ini memungkinkan DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat publik yang dipilih melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Evaluasi ini dilakukan jika terdapat indikasi bahwa kinerja pejabat tersebut tidak sesuai dengan hasil uji kelayakan yang telah dilakukan sebelumnya.
Evaluasi ini dapat berujung pada pemberhentian atau kelanjutan masa jabatan pejabat yang bersangkutan. Namun, penambahan pasal ini menuai kritik dari berbagai pihak yang menilai bahwa langkah tersebut berpotensi merusak sistem ketatanegaraan.
Kritik tersebut didasarkan pada kekhawatiran bahwa kewenangan evaluasi yang diberikan kepada DPR dapat mengganggu independensi lembaga negara lainnya dan menimbulkan potensi intervensi politik dalam proses evaluasi pejabat publik.
Ini berpotensi mengikis independensi lembaga-lembaga negara, terutama dalam ranah hukum dan pengawasan pemerintahan. Bagaimana mungkin sebuah lembaga politik diberikan kewenangan sebesar itu tanpa adanya mekanisme check and balance yang ketat? Ini sama saja membuka pintu bagi intervensi politik yang semakin tidak terkendali.
Ironi terbesar dalam berbagai kebijakan ini adalah bagaimana hukum justru digunakan untuk melegitimasi tindakan yang berpotensi merugikan rakyat. Negara hukum seharusnya berfungsi untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan masyarakat, bukan menjadi alat kekuasaan semata.
Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan bahwa hukum kerap dipelintir sesuai kepentingan tertentu. Tidak hanya itu juga DPR dengan memperluas kewenangannya seperti lupa dengan UU 12 Tahun 2011 sebagai teori pembentukan undang-undangan, bahkan seolah-olah tidak adanya pemisahan kekuasaan lembaga apa yang diungkapkan oleh maupun John Locke konsep Trias Politica.
Hal inilah kecenderungan DPR, yang seharusnya menjadi lembaga representatif rakyat, justru semakin sering terlihat sebagai alat politik untuk mengamankan kepentingan elite dan penguasa.
Dalam kasus perluasan kewenangan pencopotan pejabat negara, misalnya, terdapat potensi besar bahwa aturan ini digunakan untuk menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap mengganggu kepentingan politik tertentu.
Ini bukan hanya melemahkan demokrasi, tetapi juga merusak prinsip hukum yang berkeadilan.
Di sisi lainnya, konteks ekonomi, kebijakan terkait gas LP3G dan penguasaan wilayah pesisir melalui HGB juga menunjukkan bagaimana regulasi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kepentingan bisnis tertentu.
Alih-alih menciptakan sistem yang transparan dan berpihak pada rakyat, regulasi ini justru membuka peluang bagi segelintir kelompok untuk menguasai sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama.
Situasi ini semakin memperlihatkan bagaimana kedaulatan rakyat terus tergerus oleh berbagai kebijakan yang dibuat tanpa partisipasi publik yang memadai.
Negara hukum bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi juga soal bagaimana aturan tersebut diterapkan secara adil dan tidak diskriminatif.
Ketika hukum semakin menjadi alat kekuasaan, maka yang terjadi adalah ketimpangan dan ketidakadilan. Masyarakat sering kali tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Seharusnya, dalam negara demokrasi, setiap kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harus melalui proses diskusi yang transparan dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kebijakan sering kali dibuat secara sepihak dan bahkan terkesan dipaksakan tanpa ruang bagi kritik dan evaluasi.
Perluasan kewenangan DPR dalam mencopot pejabat negara menjadi contoh nyata dari betapa berbahayanya jika hukum dikuasai oleh kepentingan politik tertentu. Jika lembaga legislatif dapat mencopot pejabat dengan mudah, maka independensi lembaga eksekutif dan yudikatif bisa terancam.
Ini berpotensi melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter dan mengarah pada pelemahan prinsip pemisahan kekuasaan.
Melihat berbagai persoalan negara, jelas bahwa Indonesia harus kembali pada prinsip negara hukum yang sesungguhnya. Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan semata, tetapi harus tetap berpegang pada prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, beberapa langkah berikut perlu dilakukan:
Pertama, transparansi dalam pembuatan kebijakan harus dijamin. Setiap kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas harus dibahas secara terbuka dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, aktivis, dan masyarakat terdampak langsung.
Kedua, penguatan mekanisme check and balance sangat penting. Perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih ketat terhadap kewenangan DPR, terutama dalam hal pencopotan pejabat negara. Jangan sampai kewenangan ini justru menjadi alat politik untuk menyingkirkan lawan-lawan politik tertentu.
Ketiga, regulasi yang bermasalah harus ditinjau kembali. Kebijakan terkait pengeceran gas LP3G, penguasaan lahan pesisir, dan berbagai aturan lainnya yang berpotensi merugikan rakyat harus dievaluasi kembali secara kritis.
Keempat, membangun kesadaran hukum di masyarakat adalah langkah fundamental. Masyarakat harus lebih aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan dan menolak setiap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan publik.
Kesadaran hukum yang tinggi dapat menjadi benteng dalam menjaga demokrasi tetap berjalan dengan baik.
Negara hukum seharusnya menjadi pilar utama dalam menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya: hukum semakin sering digunakan sebagai alat kekuasaan yang merugikan masyarakat luas.
Kebijakan terkait gas LP3G, penguasaan wilayah pesisir, hingga perluasan kewenangan DPR dalam mencopot pejabat negara merupakan indikasi nyata bahwa hukum semakin kehilangan esensinya.
Jika situasi ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan bergerak menuju sistem pemerintahan yang semakin otoriter, di mana hukum hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengembalikan hukum pada jalur yang benar, yaitu sebagai instrumen keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara hukum tidak boleh “ngegas” hanya untuk kepentingan segelintir elite! Melainkan mandat untuk menjalankan konstitusi negara dalam UUD 1945.
Penulis: Muhammad Adib Alfarisi, Mahasiswa Magister FSH Hukum Tata Negara, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.