KALBARSATU.ID – Jika sebelumnya kita mengenal istilah proses kontestasi politik dengan kosa kata Pemilihan Umum (Pemilu), maka sejak adanya UU No. 32 tahun 2004 kita mengenal istilah Pilkada, Pileg dan Pilpres. Dimana implementasi UU tersebut untuk pertama kalinya adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara. Kemudian menjadi UU 22 tahun 2017, Pilkada menjadi salah satu jenis pemilihan tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Untuk pertama kalinya adalah Pilkada DKI Jakarta, dan seterusnya dalam siklus lima tahunan terjadi perubahan dan atau perbaikan perundang-undangan tentang kepemimpinan baik nasional maupun daerah. Dimana kesemua jenis kontestasi tersebut dimaknai dalam terminologi pesta demokrasi.
Selayaknya pesta, maka kontestasi politik selalu diselenggarakan dengan gegap gempita, suka cita, dan dibumbui dengan hiburan. Selain biaya dan “pembiayaan”, konsekuensi dari pesta adalah kerumunan masyarakat dalam memeriahkan demokrasi, baik nasional maupun lokal (Pilkada). Dalam kondisi normal (dari wabah penyakit menular), pesta demokrasi dimaklumi sebagai prosesi perayaan seleksi kepemimpian. Meski melahirkan banyak kritik karena menimbulkan politik berbiaya tinggi, oligarki tingkat lokal, dinasti politik lokal, dan tingginya praktek politik uang. Tetapi setidaknya aspirasi eforia demokrasi dalam gerakan reformasi sudah terakomodir tentang bagaimana sebuah pemilihan langsung harus diselenggarakan. Tinggal lagi keberanian evaluasi untuk dapat menekankan efektivitas dan efisiensi rekrutmen kepemimpinan daerah yang berkualitas.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana penyelenggaraan pesta demokrasi ditengah pandemi COVID 19. Karena secara global, masyarakat dunia sedang berperang melawan “musuh” tanpa wujud tapi nyata sangat mematikan. Pada situasi inilah kemudian penyelenggaraan Pilkada tahun 2020 yang melibatkan 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota menimbulkan perdebatan kelayakan untuk tetap berlangsung atau ditunda. Tentu saja masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang berbasis pada kepentingan masyarakat luas, meski pisau analisis dan pragmatism yang berbeda.
Pro Kontra vs Keteguhan Pemerintah
Berbagai kalangan memperdebatkan kelayakan penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah wabah Pandemi COVID 19. Baik individu maupuan organisasi kemasyarakatan, bahkan diinternal pemerintahan sendiri. Tidak kurang dua organisasi keagamaan terbesar seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menyerukan penundaan. Pendapat Pilkada selayaknya ditunda berbasis pada pemikiran bagaimana upaya mengurangi dan atau menghentikan rantai penyebaran Covid dapat dilakukan. Dimana seminggu terakhir lonjakan masyarakat yang terpapar semakin hari semakin tinggi. Melihat kondisi ini, NU secara resmi menyampaikan usulan penundaan penyelenggaran Pilkada 2020. Substansi usulan tersebut terkait dengan upaya mencegah laju rantai penularan hingga tahapan penanggulangan pandemic Covid pada tahap aman. Selanjutnya melakukan realokasi anggaran Pilkada untuk penanganan Covid dan penguatan jaring pengaman sosial, dimana penyelamatan jiwa jauh lebih penting dari demokrasi. Serta analisis dan atau pendapat yang pernah muncul jauh sebelumnya bahwa Pilkada lebih banyak mendatangkan mudharatnya dengan menjamurnya praktek politik uang dan politik berbiaya tinggi.
Sementara pada posisi pemerintah, melalui Menko Pulhukam, Mafud MD, menyatakan bahwa pemerintah masih berpendapat Pilkada tetap akan diselenggarakan pada 9 Desember. Alasan yang disampaikan Menkopolhukam antara lain bahwa Pilkada adalah hak politik rakyat, belum dapat dipastikan kapan Covid 19 secara pasti dapat dihentikan sementara penyelenggaraan Pilkada perlu kepastian waktu, dan penetapan PLT untuk kepala daerah dalam waktu yang lama akan mengganggu jalannya pemerintahan daerah terkait dengan kebijakan-kebijakan penting dan strategis. Namun argumentasi tersebut dibantah oleh sebagian kalangan bahwa kondisi yang ada dapat diatasi dengan Perpu. Akan tetapi untuk memperkuat argumentasi, telah disepakati antara pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu Pilkada tetap diselenggarakan pada 9 Desember 2020 dengan penegakan disiplin dan sangsi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan penanganan Covid 19. DPR sebagai “wadah” perwakilan rakyat Indonesia, secara tidak langsung melegitimasi penyelengaraan Pilkada 2020.
Sementara tahapan Pilkada 2020 sendiri sudah pada tahap penetapan calon dan penetapan nomor urut calon. Juga beberapa peraturan penyelenggaraan sudah mengalami revisi untuk menyesuaikan hasil kesepakatan antara pemerintah, DPR dan penyelenggara Pilkada terkait protokol kesehatan pencegahan Covid 19. Apakah hal itu selesai dari kekhawatiran? Tentu tidak, karena konteks dan karakter masyarakat kita tidak ada suatu hal yang selesai dari perdebatan.
Kesehatan Vs Sosial Ekonomi dan Pertaruhan Penyelenggaraan
Aspek kesehatan dan kepentingan stabilitas sosial ekonomi adalah kondisi yang diamini bersama sebagai standar sosial yang harus dijaga, pertahankan dan dibangun dalam penanganan Covid 19. Keduanya tidak bisa saling berkelindan satu sama lain. Pertanyaannya adalah bagaimana kedua aspek itu dapat berjalan bersama agar tidak menimbulkan gejolak. Pada konteks inilah yang menjadi persoalan besar.
Kekhawatiran meningkatnya rantai penularan covid 19 berangkat dari kenyataan bahwa masih banyak bagian masyarakat kita (termasuk para elitnya) masih cenderung menyangsikan dan atau abai terhadap protokol kesehatan pencegahan Covid. Sementara aparatur sendiri terlihat masih gamang dalam penegakan protokol Covid 19. Jikapun ada ketegasan kadang berlebihan sehingga menimbulkan masalah baru seperti potensi konflik (kasus Singkawang, misalnya). Sehingga memang diperlukan sebuah pendekatan perpaduan antara ketegasa polisioner dan humanism. Sehingga kesadaran bukan karena ada aparatur tetapi karena pentingnya ketaatan terhadap protokol kesehatan. Fakta membuktikan sebagian besar masyarakat lebih takut pada apartur penegak hukum/aturan daripada substansi aturannya. Dengan adanya revisi peraturan penyelenggaraan Pilkada 2020, maka kita akan menunggu seberapa tegas dan berani penyelenggara Pilkada dan aparatur pendukungnya menerapkan sangsi.
Sementara alasan Pilkada 2020 tetap diselenggarakan sesuai jadwal, penulis lebih melihat pada aspek ekonomi pemerintah dan efek domino yang mungkin terjadi. Sebab efek domino penundaan Pilkada akan mendorong percepatan Indoensia masuk dalam resesi. Bisa dibayangkan ada 270 titik dalam Pilkada 2020 ini menyedot anggaran, baik APBN maupun APBD. Benar bahwa anggaran tersebut sudah dialokasikan jauh sebelumnya, namun dengan adanya kebijakan realokasi dan pelambatan pembngunan guna penanganan Covid 19 maka postur anggaran tentu sudah tidak ideal lagi. Maka apabila ditunda pastilah ada persoalan aggaran baik pusat maupun daerah. Belum lagi rantai persoalan di sector usaha rekanan penyedia kelengkapan Pilkada dan masyarakat. Baik disisi penyelenggara Pilkada maupun para peserta kontestasi. Ada berapa usaha percetakan dan lain-lain yang harus menerima penundaan pembayaran dan atau pelunasan dari proses belanja penyelenggara Pilkada dan para kontestan. Ada berapa karyawan dari masing-masing rekanan yang harus menerima penundaan dan atau penghentian upah atau bahkan dirumahkan. Belum lagi sector penyedia bahan baku alat peraga dan seterusnya. Baik tingkat industri rumahan, UMKM ataupun percetakan besar.
Sehingga menurut hemat penulis, sisi lain dari keyakinan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan Pilkada 2020 adalah bagaimana Pilkada menjadi salah satu alat untuk distribusi ekonomi. Atau apa yang disebut oleh PBNU sebagai upaya memperkuat Jaring Pengaman Sosial. Perpaduan antara penerapan sangsi ketat dan berat bagi pelanggar protokol kesehatan pencegahan Covid 19 dan Pilkada sebagai salah satu alat memperkuat jaring pengaman sosial menjadi syarat mutlak agar antara kesehatan dan sosial ekonomi tetap berjalan beriringan. Meski tidak dapat didilakukan disemua area, dampak Covid 19 pada kesadaran baru terhadap dunia virtual layak diterapkan. Bahkan contoh praksis di Solo bisa menjadi pertimbangan untuk para kandidat dan penyelenggara. Tentu saja sangat situasional dan perlu pengembangan inovasi kreatif lagi sesuai kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing.
Namun hal yang perlu dipahami, Pilkada bukan hanya semata-mata tanggungjawab pemerintah dan penyelenggara saja. Tetapi merupakan tanggungjawan kita semua sebagai warga bangsa untuk memaknai Pilkada sebaagi sebuah pesta. Utamanya para kontestan harus mampu mengendalikan pendukung dan dirinya sendiri. Sehingga seminimal mungkin (bahkan jika bisa) harus menghindari adanya piring atau gelas yang pecah. Terlebih jangan sampai tenda berbangsa roboh hanya karena sebuah pesta.
Penulis: Happy Hendrawan
(Ketua PA GMNI & Wakil Ketua PWNU Kalbar)