KALBAR SATU ID – Cerita orang miskin sudah biasa. Sekali-kali cerita orang terkaya di negeri ini. Orang kaya itu, kentutnya pun dianggap harum. Seruput kopi tanpa gulanya agar otak selalu encer dan waras.
Di sebuah tanah yang dikelilingi hutan tropis, sungai berlumpur, dan sinyal 3G yang kadang muncul hanya saat petir menyambar, lahirlah seorang anak manusia dari Bengkayang, Kalbar. Namanya Phang Djoen Phen, kemudian lebih dikenal sebagai Prajogo Pangestu. Dulu dia cuma anak sopir angkot. Sekarang? Dia nyopirin ekonomi nasional pakai pesawat jet pribadi. Dulu cuma bisa belanja di warung, sekarang kalau ke mall, dia bisa beli mall-nya sekalian, beserta isinya dan pegawainya yang sedang magang.
Akhir Juli 2025, dunia keuangan Indonesia berguncang. Forbes mengumumkan bahwa dialah, Prajjogo Pangestu, usia 81 tahun, lulusan SMEA, berdarah Hakka, pengusaha kayu yang berevolusi jadi sultan petrokimia, orang terkaya di Indonesia. Kekayaannya menembus angka 33,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 544 triliun. Iya, betul. Triliun. Sebuah angka yang jika ditransfer ke rekening kita, bisa bikin aplikasi mobile banking langsung hang, meledak, lalu memanggil FBI karena dianggap anomali kosmik.
Dengan kekayaan segunung itu, beliau bukan cuma melewati Low Tuck Kwong, sang raja batu bara yang biasanya tak tergoyahkan, tapi juga menyalip duo maut Hartono bersaudara, pemilik Djarum dan BCA, yang selama ini nyaman bercokol di puncak daftar Forbes sambil minum kopi di rooftop pencakar langit. Tapi kini, mereka hanya bisa tersenyum kecut sambil mengelus kartu ATM titanium-nya, karena tahta sultan sudah berpindah ke tangan putra Kalbar.
Jangan salah, ini bukan kisah fiksi atau dongeng indah tentang putri dan pangeran. Ini kenyataan setajam bilah Excel dan setebal laporan bursa efek. Prajogo memulai karier dari nol. Dari sopir angkot, dia kerja di perusahaan kayu milik Burhan Uray. Tahun 1977, dia nekat mendirikan PT Barito Pacific Timber. Perusahaan itu kemudian berevolusi jadi raksasa Barito Pacific Group. Tahun 1993 dia membawa perusahaannya ke lantai bursa, dan pada 2007 ia mencaplok Chandra Asri, masuk ke dunia petrokimia seperti Naruto masuk ke mode Sage. Pada 2011, Chandra Asri gabung dengan Tri Polyta dan jadilah mereka produsen petrokimia terbesar di Asia Tenggara.
Tak puas jadi penguasa plastik, ia juga menari di atas bara. Ia mendirikan PT Petrindo Jaya Kreasi. Lalu berinvestasi ke energi terbarukan lewat Barito Renewables, dan bahkan bikin perusahaan infrastruktur sendiri, Chandra Daya Investasi. Namanya juga sultan sejati, kalau orang lain mikir “mau makan apa besok”, dia mikir “mau beli perusahaan apa besok pagi”.
Kenaikan kekayaan Prajogo bukan main. Dari US\$26,6 miliar awal Juli, tiba-tiba lompat jadi US\$33,3 miliar di tanggal 26. Kaya kilat. Bahkan uang THR pun tak secepat itu mampir ke rekening kita. Dalam waktu tiga minggu, dia naik Rp 114 triliun. Sejumlah uang yang kalau dijatuhkan dari helikopter, bisa bikin kemacetan di seluruh Pulau Jawa dan hujan emas di Kalbar.
Di puncak kejayaan itu, dia tetap low profile. Tak pernah pamer, tak pernah joget TikTok, tak pernah jadi bintang sinetron atau endorse skincare. Dia “Lone Wolf” sejati. Mungkin dia sedang duduk tenang, minum teh hijau, membaca laporan saham, dan tertawa kecil sambil berkata, “Ah, cuma 544 triliun.”
Bangsa ini tak perlu mitos baru. Bangsa ini cukup butuh satu Prajogo Pangestu, bukti bahwa meski nuan lahir di ujung Kalbar dan cuma lulus SMEA, kalau sampeyan kerja keras, sabar, dan bisa mencium aroma cuan dari kilometer jauhnya, panjenengan bisa punya kekayaan setara gabungan 100.000 generasi netizen rebahan.
“Abang kan orang Kalbar juga, kenapa tidak minta cuan untuk memperbaiki warkop reot kita tu?”
“Iya sih sama-sama orang Kalbar. Cuma, beda nasib, wak. Malu lah harus minta sama orang tajir. Beliau pun tak kenal saya. Hanya kebetulan satu daerah saja. Yang penting masih enak seruput kopi, itulah hidup terindah, wak.”
Penulis: Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar