News

GMNI: Capres dan Cawapres Harus Usia Produktif

×

GMNI: Capres dan Cawapres Harus Usia Produktif

Sebarkan artikel ini
Ketua DPP GMNI
Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Arjuna. Putra Aldino.

Kalbar Satu, Jakarta – Indonesia saat ini memasuki era bonus demografi, di mana penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Jika bonus demografi ini dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah, kondisi ini akan menjadi modal penting untuk membangun menuju 100 tahun Indonesia emas pada 2045. Namun, jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi boomerang dan menjadi beban bagi negara.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino mengungkapkan bahwa untuk merespon tantangan bonus demografi ini Indonesia perlu dipimpin oleh Presiden dengan usia produktif yakni usia tidak lebih dari 64 tahun. Karena berdasarkan indikator Badan Pusat Statistik, kelompok usia produktif diidentifikasikan sebagai kelompok yang terdiiri dari orang berusia 15 hingga 64 tahun.

Menurut Arjuna, faktor usia sangat penting untuk menjadi pertimbangan karena faktor usia berkaitan dengan kemampuan adaptasi yang cepat dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Apalagi saat ini kita memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan adanya transformasi digital yang sangat cepat dan masif. Untuk itu butuh kemampuan adaptasi, adopsi dan inovasi teknologi yang cepat dan tepat agar Indonesia tidak tertinggal.

“Kepemimpinan nasional harus dinakhodai oleh sosok yang memiliki kemampuan adaptasi dan inovasi teknologi agar kita bisa menempuh akselerasi. Dan ini bisa terjadi apabila pemimpin berada di usia produktif,” papar Arjuna.

Perekonomian global telah mengalami revolusi oleh kecerdasan artifisial dan peran mesin. Hal ini membawa dampak dan konsekuensi serius terhadap cara hidup manusia, seperti yang telah terjadi pada revolusi agrikultura, industrial, dan digital. Untuk itu, Indonesia perlu pemimpin yang membawa paradigma berfikir yang transformatif dan progresif karena paradigma berfikir seseorang nantinya akan berkaitan dengan arah kebijakan dan model kepemimpinan.

“Kita tidak mungkin dipimpin oleh calon pemimpin yang masih berfikir old school yang masih berfikir konservatif. Ini akan menghambat inovasi dan kemajuan,” tambah Arjuna.

Semua sendi kehidupan kini mengalami transformasi. Di bidang pertahanan misalnya, ancaman pertahanan bukan lagi ancaman dalam pengertian tradisional. Namun ditengah era big data dan internet of thing, telah muncul ancaman Siber berupa pencurian data dan teknologi militer.

Maka kebijakan pertahanan tidak bisa sebatas belanja alutsista bekas. Melainkan harus pada proyeksi dibentuknya organisasi Cyber Defense. Seperti halnya di Amerika Serikat talah dibentuk United States Cyber Command (USCYBERCOM) di bawah United States Strategic Command (US STRATCOM) sebagai antisipasi terhadap banyaknya serangan cyber terhadap jaringan komputer, internet, maupun infrastruktur digital.

“Di bidang pertahanan misalnya, kita tidak mungkin mempertahankan gaya kebijakan old school seperti belanja alutsista bekas. Namun harus pada proyeksi dibentuknya organisasi Cyber Defense. Tidak bisa tidak, di masa depan dunia digital sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan bangsa,” tutur Arjuna.

Sama halnya dalam mencapai Swasembada pangan. Kita tidak bisa mempertahankan model kebijakan pertanian yang mengarah pada “ekstensifikasi” yang mengutamakan perluasan areal pertanian sehingga membabat hutan dan mengancam keseimbangan ekosistem serta perubahan iklim. Produktivitas harus ditingkatkan dengan teknologi “smart farming”. Tujuannya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pertanian, serta mempermudah pengaturan logistik.

“Hari ini kedaulatan pangan harus dicapai dengan teknologi smart farming. Bukan lagi model konvensional seperti ekstensifikasi pertanian. Selain untuk mencapai swasembada juga untuk menghindari kerusakan lahan dan kerusakan lingkungan,” jelas Arjuna.

Untuk itu, akomodasi kepemimpinan nasional yang dibatasi pada kategori usia produktif menjadi penting ditengah tuntutan situasi global yang menuntut Indonesia untuk cepat melakukan adaptasi dan inovasi. Pembatasan ini berkaitan dengan kecakapan yang mesti dimiliki oleh calon pemimpin, terutama kecakapan adopsi dan inovasi teknologi untuk melakukan percepatan kemajuan.

“Kecakapan menjadi tolak ukur yang krusial dalam kepemimpinan nasional. Kita tidak mungkin bicara percepatan kemajuan jika kita dipimpin oleh seseorang yang old school, tidak mampu melakukan inovasi dan mengakselerasi kemajuan untuk Indonesia Emas 2045,” tutup Arjuna.