KALBAR SATU ID – Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM menuju era globalisasi yang penuh dengan tantangan sehingga disadari bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi setiap individu. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja, terutama dalam memasuki era persaingan yang semakin ketat, tajam, berat pada abad millenium ini.
lembaga penyelenggara pendidikan di Indonesia. Masing-masing lembaga pendidikan tersebut telah diatur dan diakui oleh pemerintah dalam undang-undang nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pesantren ditetapkan sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan kegamaan (Pasal 30 ayat 4). Sedangkan madrasah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai jenjang pendidikan dasar dan menengah (Pasal 17 dan 18).
Secara historis munculnya sistem pendidikan pesantren, dan madrasah di Indonesia mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sistem pendidikan yang pertama kali muncul di Indonesia adalah
pesantren, sebab lembaga yang serupa dengan pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha.
Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada (Madjid, 1997:3). Lembaga ini di Jawa disebut pesantren, di Aceh dengan rangkang dan dayah, di Sumatra Barat dengan surau (Daulay, 2001: ix).
Dalam perkembangannya pesantren, dan madrasah senantiasa melakukan inovasi dan juga transformasi dalam dirinya, baik dari isi (materi) yang diajarkan maupun dari metode serta managemennya dalam rangka menciptakan pendidikan yang lebih berkualitas sebagai tuntutan perubahan zaman. Perubahan-perubahan tersebut telah banyak menciptakan kemajuan baik dalam pesantren maupun madrasah. Namun berdasarkan beberapa referensi dan juga realitas di lapangan nampaknya masih banyak juga terdapat problematika yang dihadapi oleh lembaga-lembaga tersebut, baik problem dalam input, proses ataupun outputnya.
Secara etimologis, kata “manajemen” berasal dari kata “managio”, berarti “pengurusan” atau “managiare”, yaitu melatih dalam mengatur langkah-langkah, atau dapat juga berarti bahwa manajemen sebagai ilmu, kiat dan profesi (Sagala, 2004: 13).
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri (Dhofier, 1994: 18). Dengan nada yang sama Soegarda Poerbakawatja sebagaimana yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay menjelaskan pesantren asal katanya adalah santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam (Daulay, 2009: 61).
Persyaratan-persyaratan pokok suatu lembaga pendidikan baru dapat digolongkan sebagai pesantren ialah perlu dilihat elemen-elemen pokok pesantren. Elemen-elemen pokok pesantren itu adalah: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai (Dhofier, 1994: 44).
Manajemen pesantren dalam arti pengelolaan pesantren dapat dimaknai sebagai sebuah proses menggerakkan sumber daya yang ada di pesantren untuk mencapai tujuan. Tujuan pesantren menurut Mastuhu sebagaimana yang dikutip oleh Syamsudduha adalah: menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi abdi masyarakat berdasarkan sunah Rasul, mampu berdiri sendiri, bebas dan tegas dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia (Syamsudduha, 2004: 34).
Problematika pendidikan yang terjadi di pesantren, dan madrasah sekiranya perlu diketahui dulu bahwa pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Sistem-sistem tersebut terdiri atas instrumental input, raw input, input, process, output, environmental, dan outcomes.
Masing-masing komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan fungsi struktur, yaitu mencapai tujuan system (Apip, komponen-komponen dalam sistem pendidikan. www://apip 0103. Blogspot. Com [2 Oktober 2014]).
Namun pada pembahasan ini, komponen-komponen tersebut diidentifikasikan pada sistem pendidikan yang berupa input, proses dan output.
Input pada sistem pendidikan dibedakan dalam tiga jenis, yaitu input mentah (raw input), input alat (instrumental input), dan input lingkungan (environmental input).
Masukan mentah (raw input) akan diproses menjadi tamatan (output) dan input pokok dalam sistem pendidikan adalah dasar pendidikan, tujuan pendidikan, dan anak didik atau peserta didik.
Kemudian yang terakhir output pada sistem pendidikan adalah hasil keluaran dari proses yang terjadi di dalam sistem pendidikan. Adapun output pada sistem pendidikan adalah: lulusan (tamatan) dan putus sekolah.
Gambar 1. Komponen-Komponen dalam Sistem Pendidikan
Lembaga pendidikan Islam yang paling variatif adalah pesantren, mengingat adanya kebebasan dari kyai pendirinya untuk mewarnai pesantrennya itu dengan penekanan pada bidang tertentu. Misalnya ada pesantren ilmu alat, pesantren fikih, pesantren al-Qur’an, pesantren hadis dan juga pesantren tasawuf. Masing-masing pengkhususan dalam bidang tersebut didasarkan pada keahlian kyai pengasuhnya.
Ditinjau dari segi keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari luar, pesantren dapat dibagi dua: pesantren tradisional (salafi) dan pesantren modern (khalafi). Pesantren salafi bersifat konservatif, sedangkan pesantren khalafi bersifat adaptif. Adaptasi dilakukan terhadap perubahan dan pengembangan pendidikan yang merupakan akibat dari tuntunan perkembangan sains dan teknologi modern (Qomar, 2007: 58).
Perbedaan antara pesantren tradisional dengan pesantren modern dapat dilihat dari perspektif manajerialnya. Secara umum pesantren tradisional dikelola tanpa menggunakan kaidah-kaidah manajerial yang berlaku sehingga berjalan apa adanya. Sedangkan pesantren modern dikelola dengan rapi menggunakan kaidah-kaidah manajemen yang berlaku.
Diantara problem input yang terdapat dalam pesantren adalah lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren, hal ini menyebabkan pesantren tidak mampu mengikuti dan menguasai perkembangan zaman. Relatif sedikit pesantren yang mampu secara sadar merumuskan tujuan pendidikan serta menuangkannya dalam tahapan- tahapan rencana kerja atau program. Kondisi ini menurut Nurcholish Madjid sebagaimana yang dikutip oleh Yasmadi lebih disebabkan adanya kecenderungan visi dan tujuan pesantren diserahkan pada proses improvisasi yang dipilih sendiri oleh seorang kyai atau bersama-sama para pembantunya (Yasmadi, 2007: 72).
Problem kualitas input pesantren selanjutnya dapat dilihat dari kondisi peserta didik atau dalam hal ini santri sebagai penghuni pesantren. Keseharian para santri ini ternyata memberikan fenomena menarik bila dibandingkan dengan kehidupan di luar pesantren. Untuk lebih jelasnya berikut ini pemaparan kondisi nyata para santri mulai dari pakaian, kondisi kesehatan, perilaku, dan penyimpangan-penyimpangan yang mungkin mereka lakukan:
Pakaian: bukannya karena mereka adalah “kaum sarungan” (ejekan Hadi Subeno almarhum), tetapi cara memakainya yang penting. Umumnya para santri tidak membedakan antara pakaian untuk belajar, dalam kamar, keluar pondok pesantren, bahkan untuk tidur pun tidak berbeda.
Kesehatan: penyakit yang biasanya diasosiasikan dengan para santri adalah penyakit kudis (gudigen dalam bahasa jawa). Meskipun sekarang ini sudah jarang kelihatan, tetapi kondisi yang “favourable” untuk penyakit kulit itu masih banyak terdapat di pesantren.
Tingkah laku: sudah menjadi rahasia umum bahwa para santri mengidap penyakit rasa rendah diri dalam pergaulan ketika harus berasosiasi dengan masyarakat di luar mereka.
Salah satu hal yang bisa sangat mengejutkan peninjau dari luar adalah adanya suatu praktek di kalangan para penghuni pondok, meskipun ini jarang terjadi, yang justru sangat bertentangan dengan ajaran moral agama sendiri. Praktek itu agaknya merupakan akibat buruk dari sistem asrama yang tidak membenarkan pergaulan (sekedar pergaulan saja!) dengan jenis kelamin lain. Praktek yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Luth dan yang dalam al-Qur’an mendapatkan kutukan Tuhan ini justru di pesantren (tidak semua pesantren) hampir dianggap sebagai “taken for granted” (Madjid, 1997: 92).
Selanjutnya terkait proses pendidikan di pesantren juga masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapai, diantaranya mengenai kurikulum, metode pembelajaran, sarana prasarana dan administrasi. Permasalahan kurikulum di pesantren terkait dengan pemberian pelajaran umum yang tidak efektif. Barangkali sekarang ini praktis semua pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Tetapi tampaknya dilaksanakan secara setengah-setengah, sekedar memenuhi syarat atau agar tidak dinamakan kolot saja. Sehingga kemampuan santri pun biasanya sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan masyarakat umum (Madjid, 1997: 94).
Kelemahan pendidikan pesantren yang lain adalah suasana pembelajaran yang pasif.(Qomar, 2007:73). Hal ini masih banyak dijumpai di pesantren yang salah satu sebabnya adalah minimnya kreativitas dan juga inovasi guru terhadap pengembangan metodologi pembelajaran aktif, sehingga membuat daya kritis santri menjadi lemah. Maka agar nalar kritis tumbuh di pesantren, para pendidiknya harus mau melakukan formulasi pola pendidikan dengan menyertakan metodologi modern.
Selanjutnya rendahnya mutu sarana dan prasarana di pesantren dapat diketahui dari paparan Nurcholish Madjid berikut ini:
Pengaturan “tata kota” –Istilah ini dipinjam dari planologi kota– pesantren memiliki ciri yang khas, yaitu letak masjid, asrama atau pondok, madrasah, kamar mandi, kakus (WC) umum, perumahan pimpinan, dan lain-lain umumnya sporadis.
Kamar-kamar asramanya sempit, terlalu pendek, jendela terlalu kecil, dan pengaturannya pun sremawut. Selain itu minim peralatan, seperti dipan, meja kursi, dan tempat untuk menyimpan pakaian.
Jumlah kamar mandi dan kakus (WC) tidak sebanding dengan banyaknya jumlah santri yang ada. Atau malah ada pesantren yang tidak menyediakan fasilitas ini sehingga para santrinya mandi dan buang air di sungai. Kalaupun ada kondisinya tidak memenuhi syarat sistem sanitasi yang sehat.
Madrasah atau ruang kelas yang digunakan tidak memenuhi persyaratan metodik-didaktik atau ilmu pendidikan yang semestinya, seperti ukuran yang terlalu sempit atau terlalu luas. Antara dua ruang kelas tidak dipisahkan oleh suatu penyekat, ataupun kalau ada penyekatnya tidak tahan suara sehingga gaduh.
Perabotannnya yang berupa bangku, papan tulis, dan lain-lain juga kurang mencukupi baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Tempat ibadah (masjid/musholla) pada umumnya keadaannya juga mengecewakan: kebersihan lantainya kurang terjaga–ini ada hubungannya dengan sistem penyediaan air wudhu/kolam–, arsitektur bangunan dan pembagian ruangannya tidak menunjukkan efesiensi dan kerapian, kurangnya sistem penerangan dan lain-lain (Madjid, 1997: 91).
Dalam hal administrasi pesantren menganut pola “serba mono”, sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja lain yang ada dalam organisasi. Disamping itu, masih ada kebiasaan pendidikan pesantren yang menerapkan manajemen “serba informal”.
Pola serba mono dan serba informal itu ternyata memiliki hubungan yang erat sekali. Kebiasaan pengelolaan serba mono dengan kebijakan yang terpusat hanya pada kyai mengakibatkan mekanisme formal tidak berlaku lagi, sementara keputusan-keputusan kyai bersifat deterministik dan keharusan untuk dijalankan (Qomar, 2007: 60).
Oleh karena itu, pesantren harus segera membenahi dirinya dengan menerapkan kaidah-kaidah manajemen yang berlaku dalam rangka optimalisasi administrasi dalam pesantren.
Penulis: Pusiri, S.Pd.I, Mahasiswa Pasca Sarjana IAI Al-Qolam Malang Jatim.