KALBARSATU.ID – Dilansir dari Sindonews bahwa Pengadilan Turki pada hari Jumat membatalkan keputusan pemerintah tahun 1934 yang telah mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi museum.
Putusan pengadilan ini membuka jalan bagi bangunan kuno berusia 15 abad (1.500 tahun) ini untuk dikonversi kembali menjadi masjid.
Presiden Tayyip Erdogan, yang Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)-nya yang berkuasa muncul dari Islam politik, mengatakan bahwa bangunan kubah besar itu harus kembali menjadi tempat ibadah umat Islam.
Hagia Sophia telah sebagai simbol agung umat Kristen sekaligus umat Islam di dunia, yang berarti bahwa setiap perubahan statusnya akan memiliki dampak mendalam pada pengikut kedua agama. Ini juga merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO.
Mengutip Reuters, Sabtu (11/7/2020), berikut adalah fakta kunci dari sejarah Hagia Sophia, kampanye untuk mengubah statusnya, dan pernyataan oleh para pemimpin agama dan politik tentang nasibnya.
Dua Iman Hagia Sophia atau “Kebijaksanaan Ilahi” dalam bahasa Yunani, selesai dibangun pada tahun 537 oleh kaisar Bizantium Justinian.
Struktur besar ini menghadap ke pelabuhan Tanduk Emas dan pintu masuk ke Bosphorus dari jantung Konstantinopel. Bangunan ini adalah pusat Kekristenan Ortodoks dan tetap menjadi gereja terbesar di dunia selama berabad-abad.
Hagia Sophia tinggal di bawah kendali Bizantium—kecuali penyitaan singkat oleh Tentara Salib di abad ke-13—sampai kota itu direbut oleh pasukan Muslim dari Sultan Ottoman; Mehmet Sang Penakluk, yang mengubahnya menjadi masjid.
Dinasti Ottoman membangun empat menara, menutupi ikon Kristen Hagia Sophia dan mosaik emas bercahaya, dan memasang panel hitam besar yang dihiasi dengan nama-nama berbahasa Arab; Allah, Nabi Muhammad dan khalifah Muslim.
Pada tahun 1934 presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Ataturk, membangun republik sekuler dari Kekaisaran Ottoman yang telah runtuh. Dia mengubah Hagia Sophia menjadi museum, yang sekarang dikunjungi oleh jutaan turis setiap tahun.
Klaim Pemalsuan
Sebuah asosiasi Turki yang berkomitmen untuk menjadikan Hagia Sophia sebuah masjid lagi telah menekan pengadilan Turki beberapa kali dalam 15 tahun terakhir untuk membatalkan dekrit Ataturk.
Dalam kampanye terbaru, asosiasi itu mengatakan kepada pengadilan tinggi Turki bahwa pemerintah Ataturk tidak memiliki hak untuk mengesampingkan keinginan Sultan Mehmet—bahkan menyatakan bahwa tanda tangan presiden pada dokumen itu dipalsukan.
Argumen itu didasarkan pada ketidaksesuaian dalam tanda tangan Ataturk pada dekrit, disahkan pada waktu yang sama ketika ia mengambil nama belakangnya, dari tanda tangannya pada dokumen-dokumen berikutnya.
Erdogan, yang telah memperjuangkan Islam dan ketaatan beragama selama kekuasaannya selama 17 tahun, mendukung kampanye Hagia Sophia sebagai masjid, dengan mengatakan umat Islam harus dapat berdoa lagi di sana dan mengangkat masalah ini—yang populer bagi banyak orang Turki pemilih AKP—selama pemilu tahun lalu.
Lembaga survei Turki Metropoll menemukan bahwa 44% responden percaya Hagia Sophia dimasukkan dalam agenda untuk mengalihkan perhatian pemilih dari kesengsaraan ekonomi Turki.
Surat kabar pro-pemerintah, Hurriyet, melaporkan bulan lalu bahwa Erdogan telah memerintahkan status Hagia Sophia diubah, tetapi wisatawan harus tetap dapat mengunjungi Hagia Sophia sebagai masjid dan masalah itu akan ditangani secara sensitif.
Reaksi
Di luar Turki, prospek perubahan telah meningkatkan kekhawatiran.
- Patriark Ekumenis Bartholomew, kepala spiritual dari 300 juta orang Kristen Ortodoks, mengatakan mengubah status Hagia Sophia akan memecah dunia Timur dan Barat. Gereja Ortodoks Rusia mengatakan mengubahnya menjadi masjid tidak dapat diterima.
- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Pompeo mengatakan setiap perubahan akan mengurangi kemampuannya untuk melayani umat manusia sebagai jembatan yang sangat dibutuhkan antara mereka yang berbeda tradisi dan budaya agama.
- Yunani, negara yang sangat Ortodoks, mengatakan Turki berisiko membuka jurang emosional yang sangat besar dengan negara-negara Kristen jika itu mengubah bangunan yang merupakan pusat kerajaan Bizantium berbahasa Yunani dan gereja Ortodoks.
- Turki mengkritik apa yang dikatakannya campur tangan asing. “Ini adalah masalah kedaulatan nasional,” kata Menteri Luar Negeri Turki .(*)