KALBARSATU.ID – Sebuah berita singkat muncul di Harian Sinar Harapan, edisi 18 Juni 1970. Judulnya “Penyakit Bung Karno Tidak Gawat ?” Berikut isi berita itu selengkapnya:
“Fatmawati baru-baru ini berwawancara dengan wartawan kantor berita dan pers luar negeri, dalam mana dikatakan, bekas Presiden Soekarno selama ini menghabiskan sebagian besar waktu untuk membaca majalah dan surat kabar dan dikatakan, menurut pengetahuannya tidak ada sesuatu larangan bagi Bung Karno untuk membaca surat kabar.
Disamping Bung Karno terdapat bacaan antara lain majalah “Time”, “Life” dan “Readers Digest”, disamping surat kabar seperti “Sinar Harapan” dan “Berita Yudha”, demikian anaknya Rachamawati menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fatmawati dalam wawancara yang berlangsung sebelum Bung Karno dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat mengatakan penyakitnya tidaklah gawat.
“Mungkin karena beliau hidup di dalam kesendirian itulah sebabnya sakit”, demikian Fatmawati.
Fatmawati mengatakan belum pernah menjenguk Bung Karno. Hanya anak-anaknya yang berpendirian bahwa itu adalah kewajiban anak terhadap orang tua.
”Ibu berjumpa bapak yang terakhir bulan Februari ketika menikahkan puteranya yang sulung, Guntur. Disitu bapak sudah kelihatan sukar untuk berjalan sendiri sehingga harus dibantu”.
Bung Karno sekarang ini sudah sedemikian lemahnya sehingga untuk ke kamar mandi saja perlu dibopong oleh para juru rawat.
Keadaannya mungkin disebabkan oleh tekanan darahnya yang sudah mencapai 220/95 disamping penyakit batu ginjalnya yang memang sudah lama dideritanya.
Fatmawati menyatakan harapannya agar Ir. Soekarno yang kini sudah berusia 69 tahun, sebagai orang tua diperlakukan dengan sopan santun menurut ajaran agama dan adat ketimuran.
Menurut Fatmawati untuk bekas kepala negara itu dan keluarganya pemerintah memberikan tunjangan Rp. 100.000/bulannya.
Fatmawati yang juga diperkuat oleh anaknya, Rachmawati, menerangkan bahwa sejak setahun yang lalu mereka tidak melihat lagi dilakukan interogasi terhadap Bung Karno. Namun demikian, Bung Karno tidak pernah menerima surat-surat pribadi secara langsung karena sesuatu itu harus melalui pemeriksaan dahulu.
Berbicara tentang keadaan Bung Karno, Fatmawati menyatakan bahwa Bung Karno belum tepat kalau dikatakan pikun. Pikirannya masih tetap wajar hanya saja bapak sangat malas berbicara, demikian ditambahkannya.
Tentang makanan sehari-harinya, Fatmawati menerangkan bahwa yang dimakan oleh Bung Karno sehari-harinya adalah bubur dengan sayur-sayuran. Karena ia tidak suka daging, maka baginya disediakan ikan dan ayam.
Menurut Fatmawati, Ir. Soekarno masih tetap mempunyai perhatian terhadap masalah yang dihadapi Indonesia dan dunia umumnya”.
*****
Sejatinya, pernyataan Bu Fatmawati sekedar menutupi fakta yang sebenarnya untuk menenangkan publik, terutama para pendukung Bung Karno yang masih setia. Kondisi kesehatan dan psikis Bung Karno saat itu sudah terbilang parah.
Ketika awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati, ia berjalan pun sudah kepayahan, harus dipapah. Wajah Bung Karno juga sudah terlihat bengkak, menunjukkan kondisi fisiknya yang sudah kritis.
Ketika tahu Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak: “Hidup Bung Karno….Hidup Bung Karno….Hidup Bung Karno…!!!!!”
Masuk bulan Februari, penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.
Bung Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno, menulis surat pada Jenderal Suharto dan mengecam cara merawat Soekarno. Di rumahnya, Bukg Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya, Rachmi, untuk bertemu dengan Bung Karno.
“Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik” ujar Rachmi Hatta.
Bung Hatta menoleh pada isterinya dan berkata “Soekarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kami, itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Soekarno disakiti seperti ini”.
Bung Hatta menulis surat lagi, dengan nada tegas, kepada Jenderal Suharto untuk bertemu Soekarno. Surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno yang sudah dirawat di RSPAD Jakarta.
Tanggal 19 Juni 1970, tepat hari ini 50 tahun lalu, Bung Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan “Bagaimana kabarmu, No” kata Hatta ia tercekat. Matanya sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta “Hoe gaat het met Jou?” kata Bung Karno dalam bahasa Belanda – “Bagaimana pula kabarmu?” Bung Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah sahabatnya, dan Bung Karno pun menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar rumah sakit yang kurang layak, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia.
Dua hari setelah Bung Hatta berkunjung, 21 Juni 1970, Bung Karno meninggal dunia. Seperti saat Proklamasi 1945, Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacakan Proklamasi, di saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Bung Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.
Tulisan ini dikutip dari Akun Imran Hasibuan dengan judul “Perjumpaan Terakhir Soekarno-Hatta”.(**)